MAKALAH TEOLOGI
PEMIKIRAN KONTEMPORER HARUN NASUTION
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita
kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan
persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke
masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu
kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan
yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas.
Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran
yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan
tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir
itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut.
Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak
pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu
kalan ini.[1]
Sebagai contoh, di dalam makalah ini
akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada pemikirn Harun Nasution. Dan pembahasan dalam makalah
ini akan di bahas hanya terkait dengan teologi atau ilmu kalam kontemporer
saja. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “Pemikiran Teologi Tentang Ulama’
Kontemporer Menurut harun Nasution”. Hal ini sebagai bahan diskusi,
sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan permasalahan ilmu
kalam menurut Harun Nasution.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Riwayat Hidup harun Nasution?
2. Bagaimana
Pemikiran Harun Nasution tentang Teologi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari
Selasa 23 September 1919 di sumatera. Ayahnya , Abdul Jabar Ahmad, adalah
seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab jawi. Pendidikan formalnya dimulai di
sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern
Islamietische Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934 . Pendidikannya lalu
diteruskan ke Universitas AL-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar , ia
kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikanya lalu dilanjutkan ke
Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
Setiba di tanah air pada tahun
1969, Harun Nasution langsung menyemplungkan diri dalam bidang akademis dengan
menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada
Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan
adminitrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua
Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta, dan terakhir pimpinan Fakultas
pancasarjana IAIN Jakarta. Dengan bekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di
McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelumnya di
Indonesia tentang studi islam. Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu di
perhatikan.
Harun Nasution adalah figure
sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN
Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di
dalam jaringan itu tentu saja banyak di topang oleh kapasitas intelektualnya,
dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang
pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata
kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi
salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan
mahasiswa-mahasiswanya.[2]
B. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan akal
Kata akal yang
sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang
dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه)
dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها)
1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan
mengerti. Sebagai contoh dapat disebut dalam QS. Al Baqarah : 75 yang artinya :
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S.
Al-Baqarah; 75)
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
(Q. S. Al-Hajj; 46)[6]
Dan
mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.
(Q. S. Al-Mulk; 10)[4]
Bukankah secara kebetulan bila
Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh
sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada.
Besar kecilnya peranan akala dalam system teologi suatu aliran sangat
menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam.
Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan
kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk
menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia,
bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah
lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut. “
Tema Islam agama rasional dan
dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama
dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak di pakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan
islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam di perintahkan Al-Quran sendiri.
Bukankah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-pennulis, baik di kalangan islam
sendiri maupun di kalangan non-islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama
rasional?[5]
b.
Pembaharuan Teologi
Pembaharuan
teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun atas
asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana
saja) adalah disebabkan “ada yang salah” pada teologi mereka. Pandangan ini,
(Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lainya) yang
memandang perlu untuk kembali pada teologi Islam yang sejati. Retorika ini
mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional,
pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju
kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib
umat islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi
mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak
heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah
Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[6]
Umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta
penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam, umat
Islam hendaknya mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rsional serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri, yakni teologi Mu’tazilah. [7]
c. Hubungan akal dan wahyu
Wahyu bersal dari kata al-wahy (الوحى),
dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing.
Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti
pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal
dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.
Penjelasan tentang cara terjadinya
komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah
satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)
Wahyu dalam bentuk pertama kali
kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan
seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya
yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam
keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga,
wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril,
dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh
ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang
di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.”
(Q. S. Asy-syuara; 192-195)
Filosof yang mempunyai akal
perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads.
Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan
Tuhan. Selanjutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan
kepada Nabi-nabi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi
dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati
sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan
memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam
daya rasa atau kalbunya dengun menjauhi hidup kematerian dan memusatkan
perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup
di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri
berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI
dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya.
Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti
dilihat di atas adalah daya pikir. Ditinjau
dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana
wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan. Dikalangan
kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae,
menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima
melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui
penglihatan (visual). Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian
di atas.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya –
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q.
S. Al-Qiyaamah; 16-19)
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution
adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan
akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu
menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam
pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu
fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepda teks wahyu.
Teks wahyu tetap di anggap benar. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks
wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang
dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan alkal dengan
wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari
teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
APIK
BalasHapus