Kamis, 27 September 2012

MAKALAH PEMIKIRAN KONTEMPORER




MAKALAH TEOLOGI
PEMIKIRAN KONTEMPORER HARUN NASUTION

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalan ini.[1]
Sebagai contoh, di dalam makalah ini akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada pemikirn Harun Nasution. Dan pembahasan dalam makalah ini akan di bahas hanya terkait dengan teologi atau ilmu kalam kontemporer saja. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “Pemikiran Teologi Tentang Ulama’ Kontemporer Menurut harun Nasution”. Hal ini sebagai bahan diskusi, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan permasalahan ilmu kalam menurut Harun Nasution.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup harun Nasution?
2.      Bagaimana Pemikiran Harun Nasution tentang Teologi?


  BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Harun  Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di sumatera. Ayahnya , Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934 . Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas AL-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar , ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikanya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
Setiba di tanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung menyemplungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan adminitrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta, dan terakhir pimpinan Fakultas pancasarjana IAIN Jakarta. Dengan bekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelumnya di Indonesia tentang studi islam. Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu di perhatikan.
Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak di topang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.[2]
B.     Pemikiran Kalam Harun Nasution
a.      Peranan akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut dalam QS. Al Baqarah : 75 yang artinya :
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)

Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj; 46)[6]

Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)[4]

Bukankah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akala dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut. “
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak di pakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam di perintahkan Al-Quran sendiri. Bukankah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-pennulis, baik di kalangan islam sendiri maupun di kalangan non-islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional?[5]

b.      Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” pada teologi mereka. Pandangan ini, (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lainya) yang memandang perlu untuk kembali pada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[6]
Umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam, umat Islam hendaknya mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rsional serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri, yakni teologi Mu’tazilah.   [7]

c.       Hubungan akal dan wahyu
                
Wahyu bersal dari kata al-wahy (الوحى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)
Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara; 192-195)
Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selan­jutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir.                                                                                                                               Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan. Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah; 16-19)
 Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia  menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
              Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepda teks wahyu. Teks wahyu tetap di anggap benar. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan alkal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.


                  

1 komentar: